Perempuan dalam Pandangan Islam
(Prespektif KH Moenawwar Chalil dalam buku Nilai Wanita)
Muqaddimah
Dalam sejarah, perempuan memiliki peranan yang cukup penting. Ia tak sekadar hadir sebagai pendamping, pengasuh atau pendidik. Ia hadir sebagai penopang dari peradaban mulia. Kesejatian dan keluhuran akhlaqnya bertabur dalam ragam ayat di Al-Qur’an juga sabda baginda Nabi dalam hadits-haditsnya. Perempuan adalah satu dari sekian banyak nama yang kemudian Allah abadikan menjadi nama surat dalam Al-Qur’an. Kedudukannya tentu sangatlah mulia hingga surga dikabarkan berada di bawah telapak kakinya. Penghormatan terhadapnya adalah sebuah kemestian yang harus dilakukan mengingat posisinya sebagai madrasatul ula bagi anak-anaknya. Dari rahim para perempuan pulalah lahir generasi-generasi terbaik seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan sejumlah sahabat Nabi lainnya. Dari rahimnya pulalah lahir sosok-sosok brilian seperti Ahmad Hassan[1], Mohammad Natsir[2], Isa Anshary[3], E Abdurrahman[4], Moenawwar Chalil[5] dan sejumlah nama lainnya yang menjadi penopang dakwah jam’iyyah Persatuan Islam hingga bisa dirasakan kebermanfaatannya hingga hari ini.
Lantas bagaimanakah posisi serta peran perempuan dalam Islam menurut kacamata KH Moenawar Chalil dalam bukunya Nilai Wanita? Bagaimana pula peranan perempuan dalam bermasyarakat, bernegara dalam timbangan hukum Islam? Serta bagaimana pula peranan perempuan pada tataran rumah tangga? Apakah benar hak dan kewajiban perempuan mesti disetarakan dengan kaum laki-laki jika ditarik dari kacamata feminisme?
Kedudukan Perempuan dalam Agama Kuno
Sebelum Islam datang, agama-agama kuno seperti Hindu, Budha dan sebagainya sering menganggap perempuan sebagai sesuatu yang dianggap memalukan bahkan dapat meruntuhkan harga diri keluarga. Di dalam tradisi agama Hindu, seorang laki-laki dibolehkan mengambil perempuan lebih satu walaupun perempuan tersebut masih hidup atau masih mempunyai isteri. Di dalam tradisi agama yang sama pula, perempuan dibolehkan tidak bersuami dengan lelaki lain. Bila suaminya meninggal, maka perempuan itu tidak ada hak untuk menikah kembali dan mesti menurut peraturan negeri. Kalau suaminya telah mati dibakar, maka perempuannya harus turut dibakar hidup-hidup bersama jenazah suaminya. Bahkan dalam tradisi agama Hindu pun makanan yang disediakan untuk perempuan-perempuan yang telah melahirkan dianggap sesuatu yang najis.
Dalam kepercayaan agama Konghucu, kedudukan perempuan dianggap rendahan bahkan diletakkan dalam tingkatan yang bawah sekali dan dalam keadaan rendah. Untuk memelihara kesucian kaum perempuan, mereka tidak diperkenankan menerima pendidikan serta pengajaran seperti kaum laki-laki. Mereka hanya ditunjukkan pekerjaan rumah atau pekerjaan rumah tangga saja. Karena manis, kalau kakinya dipatahkan, ditekan dengan suatu alat, agar ia tidak dapat berjalan cepat, tidak dapat pergi kemana-mana dan kalau dipukuli biar ia tidak dapat berlari. Hingga dari karena mereka mengerjakan pengetahuan kecantikan jang palsu ini, beberapa banyak kaki kaum perempuan yang menjadi busuk. Di Tiongkok bahkan anak-anak perempuan dibunuh sebab dalam kepercayaan agama mereka kedudukan perempuan itu ada dalam tingkatan yang rendah dan juga menyengsarakan.
Kedudukan Wanita Dalam Agama Islam
Salah satu bukti perempuan dimuliakan dalam Islam adalah dengan diberikan nama salah satu surat dalam Al-Qur’an yakni surat An-Nisa yang berarti perempuan. Dimana surat ini bermakna bahwa kaum perempuan dan kebanyakan isi daripada ayat-ayatnya berkenaan dengan kedudukan perempuan dan hak-hak kaum perempuan. Dengan demikian menunjukkan bahwa Islam satu-satunya agama yang sungguh-sungguh mengambil perhatian dan meninggikan derajat kaum wanita.
Allah tidak membeda-bedakan antara kaum laki-laki dengan kaum wanita di dalam urusan iman. Dalam hal ini, Nabi Muhammad saw telah diberikan perintah oleh Allah untuk menyampaikan kepada para wanita agar beriman kepada-Nya melalui firman-firman-Nya seperti yang tercantum dalam Qur’an surat Al-Mumtahanah ayat 12
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ إِذَا جَآءَكَ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ يُبَايِعۡنَكَ عَلَىٰٓ أَن لَّا يُشۡرِكۡنَ بِٱللَّهِ شَيۡٔٗا وَلَا يَسۡرِقۡنَ وَلَا يَزۡنِينَ وَلَا يَقۡتُلۡنَ أَوۡلَٰدَهُنَّ وَلَا يَأۡتِينَ بِبُهۡتَٰنٖ يَفۡتَرِينَهُۥ بَيۡنَ أَيۡدِيهِنَّ وَأَرۡجُلِهِنَّ وَلَا يَعۡصِينَكَ فِي مَعۡرُوفٖ فَبَايِعۡهُنَّ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُنَّ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ
12. Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa dalam urusan keimanan antara laki-laki dengan perempuan tiada yang dibedakan. Posisi seorang lelaki beriman dengan perempuan beriman adalah sama. Baik laki-laki mu’min maupun perempuan mu’min diwajibkan untuk beriman kepada Allah dan Rasul-nya tanpa ada pengecualian. Keimanan yang diyakini dalam hati, diucapkan melalui lisan, dan dikerjakan melalui amalan shalihan.
Selain dalam urusan iman, dalam urusan beramal shaleh pun perempuan-perempuan mu’min tidaklah dibedakan atas lelaki mu’min. Keduanya sama-sama diwajibkan mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik atau amalan shalihan sebagaimana tercantum dalam QS An-Nahl ayat 97 berikut ini :
مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةٗ طَيِّبَةٗۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
97. Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Dengan demikian, dari ayat surat An-Nahl ini dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang mengerjakan kebaikan (amal shalih), baik laki-laki maupun perempuan, pada hal ia mengerjakannya itu dengan iman, maka Allah akan memberi balasan pahala atasnya dengan pahala yang lebih baik, lebih banyak, lebih indah, dan lebih besar dari segala sesuatu yang dikerjakannya. Balasan Allah atasnya berupa dua macam, yaitu : (a) di dunia, ia akan diberikan penghidupan dengan kehidupan yang lebih baik, dan (b) di akhirat, ia akan dimasukkan ke dalam surga yang di dalamnya ia kekal abadi, dan diberi kenikmatan yang tidak ada hitungannya, pula tidak akan dianiaya sedikit pun.
Dari ayat tersebut pula menjadi jelas bagi kita semua bahwa balasan atau pahala yang akan diberikan kepada perempuan yang beriman itu tidak berbeda dengan balasan pahala yang diberikan kepada lelaki yang beriman. Di dalam Islam, akan tertolak anggapan yang menyebutkan bahwa perempuan atau wanita tidak akan mempunyai ruh yang kekal dan tidak berhak mendapat balasan surga-Nya Allah kelak di akhirat. Wallahu a’lam bish shawab.
Daftar Pustaka :
Chalil, Moenawwar. 1969. Nilai Wanita. PT. Al-Maarif: Bandung
_________________________________
[1] Salah satu tokoh sekaligus guru utama Persatuan Islam
[2] Pernah menjadi perdana menteri RI dan waketum PP Persis
[3] Dikenal sebagai singa podium dan ketua PP Persis ke 2
[4] Dikenal sebagai salah satu faqih Persatuan Islam yang juga ketua umum PP Persis ke 3
[5] Ketua Majelis Ulama (Dewan Hisbah) PP Persis pertama