Menulis A Hassan

Aldy istanzia wiguna
3 min readJun 14, 2020

--

Kisah tentang hayat dan perjuangan seorang Ahmad Hassan tentu sudah teramat banyak yang menulis bahkan mendiskusikan baik di lingkungan rumahnya sendiri yakni jam’iyyah Persatuan Islam atau pun di luar itu. Sebut saja judul-judul buku semisal Hassan Bandung, Pemikir Radikal buah pena Pak Syafieq Mughni, Riwayat Hidup A Hassan buah pena Pak Tamar Djaja, A Hassan, Sang Ideolog Reformasi Fiqih di Indonesia buah pena Pak Akh Minhaji, Yang Dai Yang Politikus buah pena Prof. Dadan Wildan, atau A Hassan : Wajah dan Wijhah Seorang Mujtahid yang disusun secara kolaboratif antara Pak Syafieq Mughni dengan Pak Endang Saifuddin Anshari. Belum lagi sejumlah warta berita, opini dan tulisan-tulisan ringan lainnya yang tersebar di beragam majalah mulai dari majalah terbitan Pimpinan Pusat Persatuan Islam atau yang diterbitkan ragam ormas lainnya di republik ini.

Hampir seluruh tulisan tersebut mengungkapkan betapa luar biasanya sosok yang lahir di Singapura pada tanggal 31 Desember 1887 dan wafat di Surabaya pada 10 November 1958. Teramat panjang jika dibabar dalam tulisan ringkas ini segala kehebatan, ketekunan juga uswah dan teladan lain dari salah satu sosok yang didaku sebagai guru utama Persatuan Islam di samping para muridnya baik dari Bandung semisal Isa Anshary, E Abdurrahman, Qamaruddin Shaleh dan sejumlah nama lainnya atau dari Bangil semisal Abdul Qadir Hassan dan sejumlah nama lainnya yang kemudian dari gagasan, tempaan juga didikan para murid ini melahirkan banyak nama-nama yang turut menyemarakkan pentas dakwah di republik ini. Sebuah catatan penting tentang ketersambungan yang hari ini menjalar dan menerobos ruang-ruang gelap menjadi seberkas cahaya yang semakin terang benderang.

Tentu, ada keharuan juga kelegaan ketika empat hari kemarin bisa menuntaskan catatan singkat tentang kawan berdebat dan berpikir Presiden Soekarno ini. Meski yang ditulis dan disusun bukanlah suatu kebaruan sebab masih berpijak pada karya-karya yang telah disusun para penulis biografi A Hassan tersebut. Tetap saja, ada semacam daya tarik yang kemudian meluaskan pandangan juga wawasan tentang sosok sederhana ini. Sosok yang dikenal sebagai khadimul ummat terbaik dalam kacamata seorang Mohammad Natsir yang saban sore sehabis bersekolah di AMS bertandang ke rumahnya di Jalan Belakang Pakgade untuk belajar agama. Juga sosok yang padanya banyak sekali perihal menarik terutama tentang buku-buku kepunyaannya yang tak hanya habis dibaca tapi juga dihafalkan. Hingga dalam catatan Pak Tamar Djaja di majalah Daulah Islamiyyah sebagaimana temaktub dalam profil penulis di terjemahan kitab Bulughul Maram, ia disebut-sebut bilamana hendak berdebat selalu membawa sebuah buku yang kini dikenal sebagai ‘Makhtuhah Kullu Sya’i’ dan tersimpan begitu apik serta tengah direkonstruksi ulang oleh guru kita Al-Ustadz Amin Muchtar bersama rekan-rekan asatidz di Pesantren Ibnu Hajar-nya.

Menulis A Hassan tentu menjadi semacam refleksi ulang tentang arah dan pergerakan Persatuan Islam ke depannya. Bukan sekadar bernostalgia dengan riwayat hidupnya yang panjang melintang melintasi ragam masa hingga manisnya gerak kemerdekaan republik. Bukan pula mengenang surat-suratnya yang begitu menggugah seorang Soekarno selama ia diasingkan di Ende. Tapi mempelajari apa yang diikhtiarkan A Hassan untuk tegaknya izzul Islam wal muslimin di republik ini menjadi satu pertanda bahwa apa yang dulu pernah dirintisnya bersama kader-kader terbaiknya di Persatuan Islam tinggallah dilanjutkan. Sebab, generasi hari ini bukanlah generasi ikutan melainkan generasi lanjutan yang sudah seyogyanya siap melanjutkan estafeta perjuangan orang tua juga guru-guru. Sebuah catatan yang kelak akan menguji ulang komitmen sederhana kita tentang visi dan misi sasora, sausaha, sarasa yang telah dicetuskan para alim kita untuk keberlangsungan dakwah Islam di republik tercinta ini, salah satunya melalui wasilah jam’iyyah Persatuan Islam.

Tulisan ini hanya sekadar rasa tasyakur atas ikhtiar mulazamah dan muthala’ah ulang terhadap gagasan-gagasan terbaik guru kita. Semoga Allah senantiasa mudahkan kita untuk terus bergerak dan berdakwah demi terwujudnya cita ukhuwah yang selama ini dicita-citakan. Wallahu a’lam bish shawab.

Ciparay, 14 Juni 2020

--

--

Aldy istanzia wiguna
Aldy istanzia wiguna

Written by Aldy istanzia wiguna

Seorang pembaca payah. Saat ini beraktivitas di Pusaka Pustaka, perpustakaan sederhana yang sedang dirintisnya.

No responses yet