Berserah
Bayangkan, jika pandemi bertahan begitu lama di muka bumi. Menyerang berbagai dinding kokoh. Menaklukkan mereka yang merasa jumawa dengan apa yang dipunya. Atau kemudian mengalahkan setiap ego hingga mengantar nama-nama paling jumawa menuju batas akhir perjalanan hidup tanpa perlu bersuara lebih lantang seperti awal-awal ia datang lalu memburu segala kenyataan dengan garis takdir yang telah Allah tetapkan atasnya.
Barangkali, kita ditugaskan untuk tetap berikhtiar. Hadirkan kenyamanan dan adaptasi paling indah di tengah-tengah riuh ketidakpercayaan, di tengah-tengah mereka yang tetap berikhtiar hadirkan kebaikan di garda paling depan. Kita yang senantiasa berharap segala kesusahan, kemalangan, kesedihan, dan duka ini gegas berakhir dari muka bumi nyatanya setiap daya dan ikhtiar masih jauh panggang dari api. Kita yang katanya akan tetap berdiri tegak untuk menjadi pelopor penuntasan segala soalan atas akibat dari pandemi yang berkepanjangan dan nyaris dua purnama membuat kita tersekat dengan berbagai kabar gembira di luaran sana masih saja tergugu diam ketika menerima ragam kenyataan tentang ia yang tak pernah selesai mengajarkan arti kesabaran, ketabahan dan ketangguhan.
Ada masanya kita tetap menggenggam iman dalam dada. Menjadikannya kepercayaan yang sungguh seluruh hingga setiap medan ujian dan cobaan di hadapan tetap bisa dihadapi tanpa ada kata keluh kesah atau apapun yang dapat membuatnya goyah dalam sekali waktu. Maka, pada perjalanan ini taqwa akan menjadi senarai panduan yang menguatkan, mengokohkan dan membuatnya menjadi tangguh hingga setiap bala ujian yang hadir tetap dimaknai sebagai alasan sederhana yang nantinya akan membuatnya naik kelas kepada tahapan-tahapan berikutnya. Sebab tak selamanya ujian menjadi beban tapi ia adalah jalan lapang yang akan mengembalikan kita pada hakikat tentang manusia yang manusia.
Hingga ketika daya, upaya, dan ikhtiar telah dimaksimalkan tugas berikutnya adalah menyerahkan semua itu kepada Sang Maha Segala. Kepada yang mengatur dan menghadirkan pandemi berkepanjangan ini. Kepada Ia yang namanya kadang disebut ketika kita hadir pada saat-saat paling duka bukan pada saat-saat paling suka. Kepada Ia yang namanya seringkali digugat ketika ketidakadilan atas nama pandemi atau hidup datang menimpa bukan pada saat-saat kelapangan hidup yang seharusnya disyukuri ini malah kita kufuri. Dan pada titik inilah, kita diminta untuk berdiam sejenak, merenungkan betapa luas nikmat-Nya dibanding lembaran slip gaji yang habis pada hari ke sekian. Pada titik ini pula, ketika semesta nikmat tetap Ia karuniakan kepada hamba-hamba bebal dan keras kepala macam kita, ada ruang sederhana yang tercipta untuk menjadi sebab-sebab indah kembali kepada-Nya. Menghamparkan sajadah lalu sujud dalam ketundukan yang maha dan kekhusyukan yang mungkin dirasa ketika hati kita disentuh ragam karunia-Nya. Kita memang pelupa tapi Ia tidak mungkin lupa dan salah dalam mengira. Ia bisa melihat dengan sejelas-jelasnya tentang hamba-Nya yang tetap bersyukur meski dihimpit ragam ujian luar biasa mencekam ini dengan hamba-Nya yang justru kufur atas nikmat bahkan ujian hidup yang menghimpit tanpa jeda.
Dan pada titik ke sekian, ketika segenap ikhtiar telah diupayakan. Kita akan tetap kembali menjadi manusia yang manusia. Menjadi hamba yang pada tempat sujudnya tetap memohon luasan nikmat, kebaikan, keselamatan serta alasan-alasan lainnya agar khidmat tetap menjadi khidmat yang mengantar ragam kekhusyukan menemui Rabb-nya dengan indah. Semoga.****
2021